16.1.08

Transvestism

Transvestisme adalah jenis gangguan perkembangan psikoseksual yang membuat anak laki-laki memiliki kecenderungan untuk senang memakai pakaian perempuan, untuk kemudian saat berpakaian perempuan tindakan dan perilakunya meniru tindakan dan perilaku perempuan, dan biasanya pada saat yang sama anak tersebut memperoleh kenikmatan erotik-seksual khusus.

Perolehan figur identifikasi dan tokoh idola dari tayangan yang secara intens ditonton bisa saja menjadi salah satu penyebab berkembangnya perilaku transvestisme tersebut.
Penyebab perkembangan transvestisme lain adalah keinginan ibu yang kuat untuk memiliki anak perempuan karena beberapa anak terdahulu berjenis kelamin laki-laki.

Keinginan yang kuat itu membuat anak tertentu, biasanya anak bungsu, diperlakukan dan diasuh sebagai anak perempuan, antara lain dipakaikan rok, dipanjangkan rambutnya, dan didandani sebagai anak perempuan. Biasanya anak bungsu itu pun mewarisi karakteristik fisik ibu yang cantik, imut-imut, dan lembut.

Ekses spesifik lain dari pola asuh anak perempuan membuat anak lebih dekat dengan ibu dan mendapat kesempatan lebih banyak mengambil alih karakteristik keperempuanan dari kepribadian ibu. Dengan demikian, kenyamanan anak laki-laki tersebut berperilaku keperempuanan akan lebih besar daripada berperilaku kelelakian.

Sebagai penyertaan lanjut dari kondisi tersebut adalah berkembangnya minat erotik-seksual anak kemudian hari justru tertuju pada laki-laki (sejenis) daripada terhadap perempuan (lain jenis). Dan perlu disimak perkembangan lanjut dari keadaan transvestisme akan mengarah pada perkembangan ke arah kepribadian homoseksual.

Mencegah atau mengurangi tayangan televisi acara lawak untuk tidak menghadirkan tokoh "banci" bukanlah suatu yang mudah karena bisa saja justru lawakan demikian akhirnya menjadi salah satu kebutuhan dan pilihan pemirsa. Namun, membiarkan semakin banyaknya anak laki-laki sebagai generasi penerus kita mengarah pada perkembangan psikoseksual transvestisme juga tidak bijaksana.

Satu-satunya jalan untuk meminimalisasi akibat eksesif tersebut adalah sebanyak mungkin mendampingi anak saat mereka menonton acara lawak jenis tersebut dengan memberikan penjelasan yang relevan agar anak laki-laki tidak menirukan apa yang mereka tonton, apalagi menjadikan pemeran tokoh "banci" sebagai idola mereka.

Kecuali itu, mewaspadai apakah kita termasuk salah seorang ibu yang memaksakan salah satu anak kita untuk berperan sebagai anak perempuan demi kepuasan kita sendiri, seperti seolah-olah kita punya anak perempuan? Jika demikian, maka segeralah mengubah pola asuh dengan pola asuh yang relevan bagi perkembangan psikoseksual yang wajar dan optimal bagi anak laki-laki tercinta kita.

0 comments:

Design by Dzelque Blogger Templates 2007-2008