Cabai Merah, red pepper -Pengurang Rasa Sakit
Oleh: Dog^LiKe
Bentuknya yang panjang, dengan warna merah menyala dan rasa pedas “menyengat” jika sampai di lidah membuat orang kadang enggan untuk menyentuh. Namun, belakangan ini diketahui rasa panas dan pedas itu ternyata mampu ditransformasikan menjadi salah satu jenis pengurang rasa sakit, khususnya bagi penderita radang sendi.
Setidaknya itulah kesimpulan sementara para ahli di Inggris yang semula sangat anticabai. Rasa cabai yang pedas dan panas sangat tidak disukai oleh lidah Barat. Sebaliknya cabai hampir selalu bisa ditemukan di tiap masakan Meksiko, China, India, Thailand, maupun Indonesia. Terdorong mecari jawaban apa sebenarnya yang ada di balik rasa pedas cabai yang bagi mereka “luar biasa” tersebut, para ilmuwan Barat kemudian meneliti khasiat cabai secara khusus.
Tahun 1997 ilmuwan Amerika Serikat, Dr Michael Caterina, dari Jurusan Farmakologi Sel dan Molekul Universitas California San Fransisco meneliti kandungan kimia di rasa pedas cabai yang disebut sebagai capsaicin. Capsaicin, lanjut Dr David Eclapham, dari Sekolah Medis Harvard, terdapat di “tangkai” putih yang ada di dalam cabai merah. Bagian inilah juga yang kemudian menimbulkan sensasi rasa pedas dan panas. Melalui The Health Report, edisi November 1977, Caterina dan Clapham mengatakan, rasa pedas dan panas pada cabai sebenarnya dimaksudkan untuk melindungi cabai agar tidak dimakan. Kenyataanya “peringatan” itu tidak berlaku bagi manusia.
Penangkal Rasa Sakit
Sensasi rasa itu kemudian menarik perhatian para ilmuwan Barat. Baik ilmuwan AS maupun Inggris menemukan kaitan antara rasa panas dan pedas dengan penangkal rasa sakit. Dr Caterina mengatakan, molekul capsaicin mengaktifkan sebagian kelompok saraf di lidah bibir, bahkan kulit. Pada kondisi ini, capsaicin bertanggung jawab dalam medeteksi adanya stimulan rasa sakit. Karena itu, meskipun menimbulkan sensasi rasa pedas dan panas, jika diimbangi dengan perawatan yang terus-menerus, molekul capsaicin bisa mematikan rasa sakit tanpa membuatnya menjadi kebas. Dikatakan, para ilmuwan telah berhasil mengindentifikasikan protein, khususnya yang muncul diatas permukaan neuron sel saraf.
Protein ini bertanggung jawab untuk mendeteksi rasa sakit. Jika protein ini diambil dan digabungkan ke tipe sel yang berbeda, dalam arti bukan sel saraf, misalnya dimasukan kedalam telur katak, atau sel ginjal, akan didapatkan sel yang mampu merespon capsaicin. Sebelum protein ini ditemukan, sel tersebut tidak mampu merespon capsaicin. Caterina mengakui, untuk pemahaman yang lebih dalam masih diperlukan penelitian lebih lanjut. Namun, di tingkat dasar, kaitan itu terjadi ketika molekul capsaicin mengikat protein itu sehingga bentuk protein bisa berubah. Kondisi itu memungkinkan ion di sel luar seperti kalsium atau sodium mengalir masuk melalui protein itu ke sel dalam. “Protein ini menciptakan semacam lubang kecil di permukaan sel yang hanya terbuka jika capsaicin diaktifkan,” jelasnya.
Caterina menegaskan, setidaknya ada tiga hal yang membuatnya yakin akan kaitan capsaicin dengan jenis pengurang rasa sakit. Pertama, capsaicin hanya bereaksi pada sel saraf yang bertanggung jawab mendeteksi rasa sakit. Alasan kedua, protein yang bertanggung jawab pada rasa sakit itu akan menimbulkan efek rasa sakit hanya bila diaktifkan dengan capsaicin atau panas. “Ketiga, kami tahu, jika kami merawat sel yang mengeluarkan protein ini dengan capsaicin untuk waktu yang lama, secara perlahan-lahan sel saraf itu akan menjadi mati rasa terhadap rasa sakit, bahkan lama-lama mereka tidak mampu lagi mendeteksi rasa sakit,” ujarnya. Kesimpulan ini membawa pada penggunaan bahan kimia seperti capsaicin untuk mengatasi radang persendian.
Radang Sendi
Belum puas dengan penemuan itu, ilmuwan Inggris dari King’s College, London, Profesor Susan Brain, kemudian membentuk Tim Khusus untuk meneliti potensi capsaicin yang terdapat pada cabai merah tersebut. Selama dua tahun, tim Profesor Brain mencari tahu kaitan antara capsaicin dan upaya memerangi kasus radang sendi. Akhir Juni 2006 lalu, Profesor Brain mengungkapkan penemuannya tersebut.
Seperti dikutip BBC News, Brain mengatakan, ia memusatkan penelitian pada capsaicin memerangi efek peradangan, khususnya substansi yang disebut TNT-alpha. Brain berhasil mentransformasikan efek panas dan pedas “membakar” pada cabai menjadi suatu yang berguna bagi pengobatan radang sendi, khususnya rheumatoid arthritis. Suatu penyakit yang memungkinkan sistem kekebalan tubuh menyerang persendian sehingga menimbulkan rasa sakit luar biasa, radang, atau kaku.
Brain mengatakan, pengaktifan mekanisme pada saraf yang sensitif terhadap rasa sakit yang disebut TRPV 1 juga terjadi pada model arthritis. “Tetapi, hanya sedikit yang tahu mekanisme yang menghubungkan antara radang dan komponen sensitif tersebut,” ujarnya. Menurut dia, TRPV 1 hanya terjadi jika mendapat rangsangan dari capsaicin yang ditemukan dalam ekstrak cabai merah tersebut. Ia mengakui, capsaicin telah banyak digunakan dalam dunia pengobatan lebih dari satu abad, termasuk untuk rematik dalam pengobatan tradisional.
Namun, umumnya hanya digunakan untuk masalah yang terkait dengan luka bakar. “Bahkan sudah ada yang berbentuk salep yang bisa diusapkan ke kulit. Tetapi itu tadi, hanya untuk gatal-gatal atau rasa sakit yang terkait dengan luka bakar,” ujarnya. Meski masih memerlukan penelitian lebih lanjut, ia berharap pabrik farmasi tertarik untuk segera mewujudkan teori ini kedalam bentuk obat-obatan pengurang rasa sakit sehingga bisa segera digunakan. Amin.
0 comments:
Post a Comment