DISEBUTKAN, hijauan sarat serat, mengandung berbagai macam zat yang sangat berguna bagi tubuh, umpamanya beta karoten dan vitamin C, yang memiliki kemampuan menangkal berbagai penyakit gawat, termasuk menjadikan tubuh tetap singset.
Sebuah studi lawas yang dicatat Olson et al (1984) — melibatkan 3.000 tikus, mencapai 4 generasi — tentang populasi yang beregenerasi secara terus-menerus, di samping memberikan informasi soal kiat guna mendapat umur panjang, bisa jadi juga mengingatkan keunggulan hijauan. Pada periode tertentu, tikus-tikus yang telah dibagi menjadi dua kelompok tersebut diberi makanan yang sama, tetapi pada satu kelompok ditambahi suplemen susu dan hijauan. Selama 140 hari, masing-masing generasi lalu diamati. Hingga waktu tersebut, hanya 45% dari kelompok tanpa makanan suplementasi dapat bertahan hidup sementara itu, yang dengan suplementasi 90%.
Unsur lain yang juga terdapat di dalamnya, namun termasuk kurang aktif diungkit-ungkit adalah folat (asam Folat, Folasin, Pteoril Monoglutamat) — istilah folat sendiri berasal dari kata Latin folium yang berarti daun hijau — yaitu sekelompok ikatan yang berperan sebagai koenzim berbentuk tetrahidrofolat (THF) atau asam tetrahidrofolat (THFA) dalam transportasi pecahan-pecahan karbon tunggal pada metabolisme asam amino dan sintesis asam nukleat. Pada berbagai jenis binatang percobaan, defisiensi unsur ini telah terbukti dapat menimbulkan anemia megaloblastik dalam sumsum tulang dan makrositik dalam darah perifer, disertai leucopenia — berkurangnya jumlah leukosit dalam darah tepi. Pada kalkun, malah dapat menyebabkan telurnya tidak menetas. Sementara itu, pada manusia selain bisa menyebabkan anemia megaloblastik disertai leucopenia, bisa pula menyebabkan retardasi pertumbuhan dan kelainan fungsi otak.
Menurunkan homosistein.
Homosistein adalah asam amino sederhana, dihasilkan tubuh ketika menyerap dan menggunakan protein, yang belum lama ini mendapat banyak perhatian karena perannya sebagai salah satu faktor risiko terjadinya penyakit vaskular atherotrombotic. Dari bukti-bukti epidemiologi yang dikumpulkan, tampak ada hubungan antara meningkatnya level homosistein plasma dan risiko terkena penyakit pembuluh darah koroner, carotid dan sirkulasi peripheral. Level homosistein sendiri biasanya meningkat seiring bertambahnya usia.
Situasi lain yang terungkap dari fakta-fakta yang disodorkan Seshadri dan koleganya (2002) yang melakukan observasi selama 8 tahun, menunjukkan pula, pada orangtua yang level homosistein plasmanya tinggi, secara signifikan berpengaruh terhadap peningkatan risiko terkena alzheimer — suatu penyakit yang diperkirakan Lumbantobing (1995) mengenai 10-15% orang yang berusia di atas 65 tahun, dan mungkin 20% dari kelompok usia di atas 80 tahun, dengan gejala klinis paling khas: adanya perburukan yang lambat laun, gradual, dari intelektual dan tingkah laku.
Kemunduran fungsi mental bersifat progresif, makin lama makin berat. Namun, cepatnya perburukan berbeda pada masing-masing penderita. Pada sekira 10% penderita, perburukan dapat terhenti dan didapatkan plateau selama beberapa tahun — dan beberapa tipe demensia lain. Dikatakan, setiap kenaikan 5 u mol level homosistein plasma terjadi peningkatan risiko terkena alzheimer 40%.
Keadaan-keadaan tersebut dapat dicegah, paling tidak diminimalisasi, jika seseorang mencukupkan asupan pyridoxine (vitamin B6), cynocobalamine (vitamin B 12) dan tentunya folat. Studi yang berlangsung selama 6 bulan pada 205 pasien pasca menjalani angioplasty yang dilakukan ”The Swiss Cardiovascular Centre” menunjukkan, 105 partisipan yang diberi suplemen dengan komposisi asam folat (1 mg), B 12 (400 microgram) dan B 6 (10 mg), hanya 19,6% yang menderita restenois — ”halangan” baru dalam arteri — sementara itu, kasus pada 100 partisipan sisanya, yang diberi placebo, mencapai 37,6%.
Penyelidikan lain oleh Joe McPartlin dari Trinity College, Dublin, Ireland, dan rekannya dari Ulster University di Coleraine, Northern Ireland, membuktikan pula, pada 30 laki-laki dan 23 perempuan penerima suplemen asam folat dan B 12, terjadi penurunan level homosistein dalam plasma darahnya. Demikian juga simpulan akhir eksperimen dengan tikus yang dilaporkan para ilmuwan dari ”The National Institute on Aging (NIA)”: 2 grup tikus dengan gen mutan yang diperkirakan dapat mengakibatkan terjadinya penyakit alzheimer pada manusia, diberi perlakuan berbeda. Grup pertama diberi diet dengan penambahan folat di dalamnya, sedangkan grup kedua diberi diet dengan defisiensi folat.
Para peneliti memantau daerah neuron dalam hippocampus, bagian otak yang berperan kritis dalam belajar dan mengingat (recall), yang biasanya jadi amburadul gara-gara serangan penyakit ini. Dan, ditemukan adanya penurunan jumlah neuron pada tikus yang diberi diet defisiensi folat. Ini memberi kesan, folat dapat dijadikan ”pasukan khusus” pelindung otak, pencegah kerusakan lebih lanjut akibat penyakit alzheimer dan beberapa penyakit neurodegenerative lain.
Walau, sebagaimana disebutkan Joseph Loscalzo, M.D, Ph.D., dari Boston University Medical Center, Boston, mekanisme pencetusannya dalam penyakit vaskular atherothrombotic kurang begitu jelas, bisa melalui injury oksidatif pada dinding pembuluh darah, proliferasi sel pembuluh darah, dan terbentuknya keadaan prothrombotic.
Sementara itu, kaitan dengan pencegahan terjadinya alzheimer diperkirakan karena B 6, B 12 dan lebih khusus folat, merupakan kofaktor ”wajib” dalam karbon tunggal pada berbagai reaksi methylation dalam susunan saraf pusat —”menggandeng” homosistein sebelum berubah menjadi metionin lain atau sistein.
Saat kekurangannya mengakibatkan peningkatan kadar homosistein dalam plasma (bersifat toksik) yang kerap ditandai dengan terjadinya peningkatan pengeluaran homosistein dalam urine (homosistinuria). Serta apakah vitamin-vitamin ini bisa digunakan untuk pengobatan keadaan tersebut atau tidak? Namun, Dr. Mattson sangat menganjurkan mengonsumsi asam folat yang adekwat—baik dari diet harian maupun dari suplemen— bagi yang ingin terlindungi dari serangan alzheimer dan beberapa penyakit neurodegenerative.
Di Amerika, sejak 1998 telah dilakukan upaya memfortifikasi berbagai produk gandum dengannya. Sementara itu, di Inggris kemungkinan juga dilakukan setelah Commitee on Medical Aspect of Food and Nutrition Policy (COMA)merekomendasikannya, untuk mencegah cacat neural tube pada bayi serta menurunkan level homosistein plasma pengonsumsinya,
sedangkan bagi kita, cara paling mudah, murah sekaligus menyenangkan adalah dengan mulai menambah porsi kebiasaan mengkonsumsi hijauan. Agar asam folatnya bisa maksimal masuk tubuh, konsumsilah hijauan dalam keadaan mentah dan masih segar, petik dari kebun, bersihkan, dan langsung dicocol sambal—karena dalam makanan folat umumnya bersifat labil dan mudah tereduksi. Diperkirakan, sebanyak 50 hingga 95% folat bisa hilang karena pemasakan dan pengolahan.
Selain dalam hijauan, folat juga banyak bersemayam dalam hati ayam dan sapi, rumput laut dan bungkil kacang tanah.
Mencegah kanker lever
Keunggulan hijauan bukan karena punya itu saja. ”Mahluk” inipun terkenal kaya dengan klorofil—pigmen hijau yang terdapat pada kloroplas sel tanaman. Dalam kloroplas, energi elektromagnetik (cahaya) diubah menjadi energi kimia melalui proses fotosintesis, dan molekul klorofil berperan penting dalam terjadinya. Selain dalam hijauan, klorofil juga bisa terdapat dalam pewarna makanan alami maupun dalam bentuk suplemen.
Menurut O’Carroll (2002), klorofil merupakan antioksidan sangat kuat, hingga mampu melindungi ”perabot” tubuh dari serangan radikal bebas.
Bagi para perokok, zat ini diketahui memiliki kemampun lebih baik dalam menahan dampak negatif asap rokok ketimbang beta karoten maupun vitamin C. Pun kemampuannya dalam ”membekap” aflatoksin—merupakan karsinogen yang dihasilkan fungi, biasa mengontaminasi produk gandum, jagung dan kedelai.
Dalam studi pengujian Chlorophyllin, suplemen berisi klorofil, seperti diberitakan The World Of Food Ingredients, Maret 2002, yang dilakukan di daerah Qigong, pada 180 orang dewasa sehat, tapi memiliki risiko tinggi terkena kanker lever karena dietnya terkontaminasi aflatoksin, dengan cara menganalisis urine dan sampel darah, didapati, partisipan yang diberi Chlorophyllin dengan dosis 100 mg 3 kali per hari selama 4 bulan, terbukti dapat mereduksi ”keliaran” aflatoksinnya sampai 55% dibanding yang diberi placebo.
Para ahli selanjutnya menganjurkan untuk rajin-rajin mengonsumsi hijauan atau suplemen klorofil, bagi mereka yang tak ingin dikenai hepatocellular carcinoma atawa kanker lever gara-gara aflatoksin. (Yuga Pramita)***
Selanjutnya...